Monday, April 8, 2019

Cerpen : Ketika Hujan Membawa Secercah Harapan

Ketika Hujan Membawa Secercah Harapan



Hari ini mendung seperti biasa, Luna menatap Jendela rumahnya. Berharap hari ini hujan mengurungkan niatnya untuk membasahi bumi lagi. Sudah, Sudah cukup janji yang hujan berikan padanya. Ia muak. Lelah harus mengharapkan secercah harapan dari sang hujan yang terus-menerus mempermainkan perasaannya.

Bukannya Luna membenci hujan, hanya saja hatinya tak cukup kuat untuk mengenang masa lalu. Leon, pria itu. Pria yang mampu menunmbuhkan bunga di hatinya. Ternyata juga pria yang mampu membakar habis semua kuncup bunganya yang bahkan belum mekar. Luna menyesap kopi hangatnya, menikmati sensasi hangat yang menjalari kerongkongannya begitu kopi itu masuk ke dalam tubuhnya.
Ia memandang langit penuh harap. Namun, sepertinya hujan tak mau mendengarnya. Atau hujan tak cukup bersimpati pada dirinya. Lama Luna memandang awan hitam itu yang berubah menjadi tetesan hujan yang semakin lebat. Memaksanya memutar kembali memory yang ingin dikuburnya untuk selamanya.
Tiga tahun yang lalu, ia bertemu dengan Leon di sebuah kafe. Mereka sama-sama saling suka. Namun, berita buruk menghampiri Luna. Leon harus meneruskan study-nya ke luar negeri selama 4 tahun. Sebelum Leon berangkat, ia berjanji akan kembali suatu saat nanti. Luna tak percaya hal itu, tapi Leon terus berjanji ia akan kembali untuk menengok Luna saat hujan datang membasahi bumi. Dan bodohnya Luna percaya. Dan selama itu, Luna terus mengharapkan kedatangan hujan.
Harapan Luna akhirnya pupus setelah 5 tahun. Sekarang, ia bahkan membenci hujan. Hujan yang selalu memberikan harapan palsu padanya. Hujanlah yang membuat ia menanti selama ini. Namun, sekarang semua sudah berlalu. Tak ada yang tersisa dari hatinya sekarang. Hatinya hancur tergilas kejamnya roda sebuah pengharapan.
Ia juga benci pria itu. Pria yang mungkin sekarang sudah melupakannya dan tak pernah menghubunginya setelah 5 tahun lamanya. Petir di langit mulai menggelegar, bagai memecah langit hitam kelabu. Luna-pun menengguk tetes terakhir kopinya.
Ini sudah pukul 08.00, ia harus segera bekerja. Pekerjaan yang cukup nyaman baginya. Impiannya, memiliki toko buku miliknya sendiri. Hanya hal inilah yang bisa memberikan semangat baginya. Luan meletakkan cangkirnya di dapur. Memakai setelan casul miliknya dan mengambil payungnya. Hujan hari ini turun begitu lebat sekan tak mengijinkan dirinya pergi.
Luna memayungi dirinya lalu beranjak menuju halte bis depan rumahnya. Untung saja ia tinggal di tengah kota. Jadi, banyak akses transportasi umum terutama bagi dirinya yang tak bisa mengendarai kendaraan pribadi. Setelah menunggu cukup lama bis-pun datang.
Sesampainya di Tokonya. Luna membuka pintunya dan lekas membereskan toko. “Ah...mungkin hari ini akan sepi.” Gumannya sendiri sambil mengamati langit yang masih berwarna kelabu.
Tepat pukul 03.00 sore, Luna menutup tokonya. Benar dugaanya tadi. Toko-nya pasti akan sepi. Dan hari ini hanya ada 3 pegunjung, semua orang yang waras pasti akan memlih di rumah seharian dibanding harus bergelut dengan derasnya hujan. Tepat saat ia akan mengunci tokonya dan berbalik. Ia menabrak seorang pria. Pria itu tinggi dan manik matanya cokelat terang. Pria itu! Luna mengenalnya. “Leon” guman Luna setengah tak percaya siapa yang tengah berada di hadapannya.
“Lun, kamu masih ingat aku?” tanyanya dengan mata berbinar penuh pengharapan. Segala perasaan berkeceamuk di benak Luna. Antara senang bahwa penantiannya selama ini membuahkan hasil dan kekecewaanya yang telah menorehkan luka di hatinya. Luna bingung manakah yang harus ia pilih. Namun, rasa marah dan kecewanya saat ini jauh lebih besar.
 Ia berusaha menjauhi pria itu. Namun, pria itu lekas menahan tangannya. “Lun, dengerin aku dulu.” Bujuk Leon. Namun, Luna tak peduli, ia berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Leon. Tapi usahanya sia-sia. Cengkeraman pria itu terlalu kuat. Dengan satu sentakan kasar Luna berhasil melepaskan tangannya. Ia berlari menerobos hujan.
“Lun, maafin aku. Aku baru sempat kembali saat ini.” mohon Leon. “Kamu tahu nggak. Selama ini aku selalu nunggu kamu. Tapi kamu sama sekali nggak ada kabar! Kamu tahu nggak, Leon. Menunggu itu terlalu berat untukku.” Rintih Luna disela-sela tangisannya. “Aku tahu, maaf. Aku akan pergi kalau kamu benci aku.” Sesal Leon.
Luna menangis di sela-sela pelukan Leon. Apakah ia harus memaafkan pria ini atau tidak. Namun, secercah harapannya timbul di tengah derasnya hujan yang membasahi mereka berdua. “Iya. Aku maafin.” Jawab Luna pada Akhirnya. “Kamu serius? Ah...makasih Lun. Aku janji nggak akan meninggalkan kamu lagi.” Janji Leon dan memeluk Luna semakin erat.
Hujan, terimakasih. Maaf aku selalu menyalahkanmu atas ketidaksabaranku ini. Aku tahu hujan, kamu selalu memberikan secercah harapan untukku. Terimakasih, batin Luna.


No comments:

Post a Comment