Ketika Hujan Membawa Secercah
Harapan
Hari ini mendung
seperti biasa, Luna menatap Jendela rumahnya. Berharap hari ini hujan
mengurungkan niatnya untuk membasahi bumi lagi. Sudah, Sudah cukup janji yang
hujan berikan padanya. Ia muak. Lelah harus mengharapkan secercah harapan dari
sang hujan yang terus-menerus mempermainkan perasaannya.
Bukannya Luna membenci
hujan, hanya saja hatinya tak cukup kuat untuk mengenang masa lalu. Leon, pria
itu. Pria yang mampu menunmbuhkan bunga di hatinya. Ternyata juga pria yang
mampu membakar habis semua kuncup bunganya yang bahkan belum mekar. Luna
menyesap kopi hangatnya, menikmati sensasi hangat yang menjalari
kerongkongannya begitu kopi itu masuk ke dalam tubuhnya.
Ia memandang langit
penuh harap. Namun, sepertinya hujan tak mau mendengarnya. Atau hujan tak cukup
bersimpati pada dirinya. Lama Luna memandang awan hitam itu yang berubah
menjadi tetesan hujan yang semakin lebat. Memaksanya memutar kembali memory yang ingin dikuburnya untuk
selamanya.
Tiga tahun yang lalu, ia
bertemu dengan Leon di sebuah kafe. Mereka sama-sama saling suka. Namun, berita
buruk menghampiri Luna. Leon harus meneruskan study-nya ke luar negeri selama 4
tahun. Sebelum Leon berangkat, ia berjanji akan kembali suatu saat nanti. Luna
tak percaya hal itu, tapi Leon terus berjanji ia akan kembali untuk menengok
Luna saat hujan datang membasahi bumi. Dan bodohnya Luna percaya. Dan selama
itu, Luna terus mengharapkan kedatangan hujan.
Harapan Luna akhirnya
pupus setelah 5 tahun. Sekarang, ia bahkan membenci hujan. Hujan yang selalu
memberikan harapan palsu padanya. Hujanlah yang membuat ia menanti selama ini.
Namun, sekarang semua sudah berlalu. Tak ada yang tersisa dari hatinya
sekarang. Hatinya hancur tergilas kejamnya roda sebuah pengharapan.
Ia juga benci pria itu.
Pria yang mungkin sekarang sudah melupakannya dan tak pernah menghubunginya
setelah 5 tahun lamanya. Petir di langit mulai menggelegar, bagai memecah
langit hitam kelabu. Luna-pun menengguk tetes terakhir kopinya.
Ini sudah pukul 08.00,
ia harus segera bekerja. Pekerjaan yang cukup nyaman baginya. Impiannya,
memiliki toko buku miliknya sendiri. Hanya hal inilah yang bisa memberikan
semangat baginya. Luan meletakkan cangkirnya di dapur. Memakai setelan casul
miliknya dan mengambil payungnya. Hujan hari ini turun begitu lebat sekan tak
mengijinkan dirinya pergi.
Luna memayungi dirinya
lalu beranjak menuju halte bis depan rumahnya. Untung saja ia tinggal di tengah
kota. Jadi, banyak akses transportasi umum terutama bagi dirinya yang tak bisa
mengendarai kendaraan pribadi. Setelah menunggu cukup lama bis-pun datang.
Sesampainya di Tokonya.
Luna membuka pintunya dan lekas membereskan toko. “Ah...mungkin hari ini akan
sepi.” Gumannya sendiri sambil mengamati langit yang masih berwarna kelabu.
Tepat pukul 03.00 sore,
Luna menutup tokonya. Benar dugaanya tadi. Toko-nya pasti akan sepi. Dan hari
ini hanya ada 3 pegunjung, semua orang yang waras pasti akan memlih di rumah
seharian dibanding harus bergelut dengan derasnya hujan. Tepat saat ia akan
mengunci tokonya dan berbalik. Ia menabrak seorang pria. Pria itu tinggi dan
manik matanya cokelat terang. Pria itu! Luna mengenalnya. “Leon” guman Luna
setengah tak percaya siapa yang tengah berada di hadapannya.
“Lun, kamu masih ingat
aku?” tanyanya dengan mata berbinar penuh pengharapan. Segala perasaan
berkeceamuk di benak Luna. Antara senang bahwa penantiannya selama ini membuahkan
hasil dan kekecewaanya yang telah menorehkan luka di hatinya. Luna bingung
manakah yang harus ia pilih. Namun, rasa marah dan kecewanya saat ini jauh
lebih besar.
Ia berusaha menjauhi pria itu. Namun, pria itu
lekas menahan tangannya. “Lun, dengerin aku dulu.” Bujuk Leon. Namun, Luna tak
peduli, ia berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Leon. Tapi usahanya
sia-sia. Cengkeraman pria itu terlalu kuat. Dengan satu sentakan kasar Luna
berhasil melepaskan tangannya. Ia berlari menerobos hujan.
“Lun, maafin aku. Aku
baru sempat kembali saat ini.” mohon Leon. “Kamu tahu nggak. Selama ini aku
selalu nunggu kamu. Tapi kamu sama sekali nggak ada kabar! Kamu tahu nggak,
Leon. Menunggu itu terlalu berat untukku.” Rintih Luna disela-sela tangisannya.
“Aku tahu, maaf. Aku akan pergi kalau kamu benci aku.” Sesal Leon.
Luna menangis di
sela-sela pelukan Leon. Apakah ia harus memaafkan pria ini atau tidak. Namun,
secercah harapannya timbul di tengah derasnya hujan yang membasahi mereka
berdua. “Iya. Aku maafin.” Jawab Luna pada Akhirnya. “Kamu serius? Ah...makasih
Lun. Aku janji nggak akan meninggalkan kamu lagi.” Janji Leon dan memeluk Luna
semakin erat.
Hujan, terimakasih.
Maaf aku selalu menyalahkanmu atas ketidaksabaranku ini. Aku tahu hujan, kamu
selalu memberikan secercah harapan untukku. Terimakasih, batin Luna.
No comments:
Post a Comment